CIEI
Welcome to Community of Informatics and Electronics.
Selamat datang di Komunitas Informatika dan Elektronika Indonesia.
Please login to continue.
Silahkan login untuk melanjutkan.

Join the forum, it's quick and easy

CIEI
Welcome to Community of Informatics and Electronics.
Selamat datang di Komunitas Informatika dan Elektronika Indonesia.
Please login to continue.
Silahkan login untuk melanjutkan.
CIEI
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Topik Perdana, Sebuah Renungan

Go down

Topik Perdana, Sebuah Renungan Empty Topik Perdana, Sebuah Renungan

Post  daengmappuji Sun Oct 16, 2011 4:09 pm

Salam sejahtera!

Di topik perdana ini, saya ingin berbagi beberapa paragraf yang (mungkin) bisa menjadi renungan bersama. Tidak panjang lebar, mari kita mulai.

" Beberapa hari yang lalu (02-03-2011), salah seorang sahabat saya bertanya pada saya tentang makna kata "ra(h)saku" yang ada di sebuah buku. "A cat in my eyes" judulnya. Kemudian dengan rasa penasaran saya telusuri kata itu di beberapa buku dan internet namun sampai saat ini saya belum mendapat makna dari kata tersebut. Namun saya bersyukur karena di balik ini semua saya mendapat sebuah pelajaran tentang kehidupan yaitu makna dari perbedaan. Agar lebih mengerti mari kita simak kutipan dari bukunya di bawah ini.

" KEBERAGAMAAN


Kau hitam, keriting, tinggi, Ambon, bermata cokelat, tak pernah memilih terlahir dari rahim yang mana, dimana, dan dari etnis apa. Lalu, emosi, kesadaran, nalar dan ra(h)samu tumbuh merambati pengalaman dan pengajaran yang menghampirimu. Bila lantas kau memilih untuk beragama khatolik, lalu buddha. Itu pilihanmu. Itu hakmu.

Aku cokelat, ikal, tambun, Minang, bermata hitam. Juga tidak pernah memilih terlahir dari rahim seorang bernama Khadijah, di sebuah kota tepian laut, dan dari keluarga dengan keyakinan Islam yang teguh. Maka, emosi, kesadaran, nalar, ra(h)saku tumbuh merambati pengalaman dan pengajaran Islam yang menghampiriku. Bila lantas aku terbentuk dan terbangun menjadi seorang Musilm. Itu pilihanku. Itu keyakinanku. Dan, semua orang berhak memiliki keyakinannya masing-masing bukan?

Kau tak bisa memaksaku untuk menyerupaimu, aku pun begitu. Kita memiliki pilihan masing-masing. Kau boleh mengajakku, merayuku atau menggodaku, tetapi kau tak berhak memaksaku. Aku juga begitu. Dan, aku tidak [akan] pernah memaksamu untuk menjadi sepertiku. Kau adalah dirimu sendiri. Bagiku diriku sendiri, bagimu dirimu sendiri. Tak ada paksaan dalam menjadi seseorang dengan identitas tertentu, bukan?

Bila kita berbeda dalam beberapa hal, haruskan kita menyoalkannya? Berdebat atasnya? Bertarung atasnya? Memang, ada terlalu banyak perbedaan antara kau dan aku: kau Ambon, aku Minang. Kau Buddhis aku Muslim. Kau adalah dirimu dan aku adalah diriku. Haruskah kita memaksa untuk menjadi serupa?

Andai dunia ini serupa. Dunia ini tentu kesepian. Stagnan. Tak ada persilangan. Tak ada warna yang lain. Tak ada suara yang lain. Semua suara adalah bunyi yang sama. Setiap warna sama saja. Tak ada perbedaan. Jadi, tentu saja: tak ada harmoni. Monokrom. Membosankan, Bukan?

Takk ada yang mungkin untuk diserupakan sepenuhnya. Sebab keberagaman adalah salah satu wajah Tuhan yang menjadi manifestasi kesempurnaanya. Bila segalanya serupa, tentu meragukan bila kita harus menilai tuhan sempurna. Dalam keserupaan tak ada kesempurnaan. Dalam ketaksempurnaan tak mungkin ada keagungan Tuhan.

Sekali lagi, tak ada yang mungkin untuk diserupakan sepenuhnya: bila kau pintar, aku bodoh, aku bisa mengejarmu dengan belajar, berguru atau bersekolah. Bila kau katolik aku Islam, aku bisa mempelajarinya dimana saja untuk memiliki pemahaman yang serupa pemahamanmu. Bila kau S1 aku SMA, aku akan kuliah untuk jadi sama sepertimu, Namun bila kau Ambon, aku Minang, tak ada satu pun sekolah yang bisa kumasuki untuk mengubahnya, bukan? Segalanya tak mungkin diserupakan sepenuhnya. Begitu memang.

Perbedaan adalah rahmat tuhan. Perbedaan adalah wajah kesempurnaannya. Sesungguhnya, Aku menciptakan kalian dari golongan laki-laki dan perempuan, dan menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar[kelak] kamu akan saling mengenal, begitu kata Tuhanku berseru. Maka, perbedaan adalah modal, untuk saling mengenal, untuk saling memahami. Sebab bila segalanya sudah sama dan serupa, kata "perkenalan" tentu tak akan bermakna apa-apa.

Maka bila seseorang memaksamu untuk menjadi sama sepertimu, dengan mengatasnamakan agama dan Tuhanku, mari kukatakan kepadamu ia benar-benar pembohong besar. Sebab tak ada paksaan dalam agamaku, seperti juga tak ada paksaan dalam agamamu. Bila seseorang memaksamu, memukulmu, menodongkan senjata kepadamu, katakanlah kepadanya salam, haleluya, om shanti shanti om, shalom... bukankah semua itu memiliki makna yang sama meski diucapkan dalam lidah yang berbeda?

Maka bila kita berbeda dalam banyak hal, mungkinkah perbedaan kita hanyalah perbedaan artifisial yang sesungguhnya tak berarti apa-apa? Sebab, kita tak pernah tahu, barangkali jauh sekali di dalam diri kita, kita memiliki keserupaan terdalam yang paling bermakna dihadapan tuhan.

Bila bukan kemanusiaan kita, mungkin kemakhluk tuhanan kita."

Dan saya rasa kita telah mengerti apa maksud dari kutipan buku tersebut. Dan di akhir saya ingin katakan "Tuhan memberikan tanda-tanda kebesaranNya kepada semua manusia, namun hanya manusia yang ingin berpikir saja yang akan mengerti akan tanda-tanda kebesaranNya"

Maaf jika ada kata-kata yang salah.
Salam blogger! "

Semoga bisa menjadi renungan dan diskusi kita bersama.
Saya kutip dari dari mappuji.blogspot.com

daengmappuji
Admin

Jumlah posting : 6
Join date : 16.10.11
Age : 29
Lokasi : Earth

https://ciei.forumid.net

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik